Wilujeung Sumping

Wellcome..Selamat datang di Blog ini..
selamat menikmati sajian yang sederhana

Sabtu, 13 Agustus 2011

Tehnik Agar Anda Segera di sukai orang


Saya sedang menunggu giliran untuk mengirimkan surat tercatat di kantor pos di New York. Saya perhatikan, pegawai­nya tampak bosan dengan pekerjaannya—menimbang surat, memberikan perangko, memberikan uang kembalian, membuat tanda terima. Tahun demi tahun begitu terus. Jadi, saya mem­batin, "Saya akan mencoba agar disenangi pegawai itu. Agar dia senang, saya harus membicarakan hal yang baik-baik, bu­kan tentang diri saya sendiri, melainkan tentang dirinya. Saya lalu bertanya pada diri sendiri, apa yang ada dalam dirinya yang benar-benar dapat saya kagumi. Pertanyaan itu kadang­kadang sukar dijawab, khususnya dalam menghadapi orang baru. Namun, dalam kasus ini, temyata mudah. Saya segera melihat sesuatu yang tidak habis-habisnya saya kagumi.
Maka sementara dia menimbang surat, saya berkata dengan antusias, "Saya ingin sekali punya jambul rambut seperti Anda."
Dia mendongak, agak terheran-heran. Senyum mengem­bang di bibirnya. "Ya, jambul ini tidak sebaik dulu," katanya sopan. Saya meyakinkan bahwa kendati masa jayanya itu su­dah berlalu, namun tetap saja jambulnya masih menarik. Ke­gembiraannya melonjak. Pembicaraan menjadi lancar dan hal terakhir yang dikatakannya pada saya adalah, "Banyak orang yang mengagumi rambut saya."
Saya berani taruhan orang itu pasti berbunga-bunga sewak­tu pergi makan siang. Saya yakin malam itu dia akan menceri­takannya kepada istrinya. Saya yakin dia akan bercermin dan berkata, "Jambul rambutku memang bagus."
Suatu kali kisah ini saya ungkapkan pada umum dan ada orang yang bertanya sesudahnya, "Apa yang ingin Anda per­oleh darinya?"
Bah! Apa yang ingin saya peroleh darinya?!
Kalau kita bersikap egois semacam itu sehingga tidak dapat memancarkan sedikit kebahagiaan dan memberikan penghar­gaan yang tulus tanpa maksud memperoleh sesuatu apa pun dari orang lain, kalau jiwa kita kerdil semacam itu, kita pasti akan gagal.
Oh, ya, memang ada yang saya inginkan dari orang itu. Saya menginginkan sesuatu yang tak temilai dengan uang. Dan itu saya peroleh. Saya puas karena telah melakukan sesuatu un­tuknya tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Perasaan itu ber­kesan mendalam dan tidak hilang-hilang.
Ada satu hukum terpenting dalam perilaku manusia. Ka­lau hukum itu kita taati, kita hampir tidak akan pemah men­dapatkan kesulitan. Dan memang, kalau ditaati, hukum itu akan menghasilkan kawan tak terhitung jumlahnya dan kebahagiaan yang terus-menerus. Hukum itu demikian, Selalu usahakan agar orang lain merasa penting. John Dewey, sebagaimana yang telah
Para filsuf telah ribuan tahun berpikir tentang aturan-aturan dalam hubungan antarmanusia. Dan dari semua pemikiran ta­di, berkembang hanya satu aturan yang penting. Aturan ini ti­dak baru. Umumya sudah setua sejarah kita sendiri. Zoroaster mengajarkannya kepada para pengikutnya di Persia dua ribu lima ratus tahun yang lampau. Konfusius mengutarakannya di Cina dua puluh empat abad yang lalu. Lao-tse, pendiri Taoisme, mengajarkan kepada para muridnya di Lembah Han dua puluh lima abad yang lampau. Bhuddha mengajarkannya di tepi Sungai Gangga yang suci selama lima ratus tahun sebelum Masehi. Kitab-kitab suci Hindu mengajarkannya seribu tahun sebelumnya.
Anda ingin omongan Anda disetujui oleh orang yang An­da kontak. Anda ingin dihargai sesuai dengan harkat Anda. Anda menghendaki agar dianggap penting dalam lingkup Anda yang kecil. Anda tidak suka mendengarkan pujian mu­rahan yang tidak tulus, tetapi Anda mendambakan penghar­gaan yang tulus. Anda ingin agar kawan-kawan dan kolega Anda, dengan mengambil istilah Schwab, "berhati-hati dalam menyalahkan dan dermawan dalam memberikan pujian". Kita semua menginginkan hal itu.
Jadi, marilah kita menaati Aturan Emas tadi, dan membe­rikan kepada orang lain hal-hal yang Anda harapkan akan diberi oleh orang lain.
Bagaimana? Kapan? Di mana? Jawabnya, di mana saja, kapan saja.
David G. Smith dari Eau Claire, Wisconsin, menceritakan dalam salah satu kursus kami bagaimana dia menghadapi si­tuasi yang menyenangkan ketika dia diminta mengurus salah satu konter minuman pada suatu konser amal.
"Pada malam konser itu saya sampai di taman dan ada dua perempuan tua, dengan muka muram, berdiri di samping konter minuman. Tampaknya masing-masing merasa dirinya bertugas dalam proyek ini. Sewaktu saya berdiri memikirkan apa yang akan saya lakukan, salah satu anggota komisi sponsor datang dan memberikan kotak uang serta berterima kasih pada saya karena mau mengambil alih tugas. Dia memperkenalkan Rose dan Jane sebagai asisten saya, lalu mereka pergi.
"Semua terbisu lama. Menyadari bahwa kotak uang itu sedikit banyak merupakan simbol kekuasaan, saya memberikan­nya kepada Rose dan menerangkan bahwa saya mungkin tidak dapat langsung mengawasi uang dan kalau dia yang memegang, saya merasa akan menjadi lebih baik. Saya lalu menyarankan kepada Jane agar mengajari dua remaja yang telah ditunjuk ber­tugas di bagian minuman cara untuk menjalankan mesin soda, dan saya minta dia agar bertanggung jawab atas tugas tersebut.
"Sungguh menyenangkan sore itu. Rose dengan senang menghitung uang. Jane mengawasi para remaja, dan saya da­pat menikmati konser."
Falsafah menghargai orang ini tidak perlu ditunda pelaksa­naannya sampai Anda ditunjuk menjadi duta besar suatu negara atau ketua panitia tertentu di tempat tinggal Anda. Kau akan menemukan banyak hal luar biasa kalau melaksanakannya se­tiap hari.
Misalkan pramuria restoran membawakan kentang tumbuk, padahal yang Anda pesan kentang goreng yang diiris-iris, dan kita bisa mengatakan, "Maaf, jadi merepotkan Anda, nih. Yang saya pesan, kentang goreng yang diiris-iris." Dia mungkin akan menjawab, "Sama sekali tidak repot" dan dengan senang hati dia akan mengganti kentang, karena kita menghormatinya.
Kalimat-kalimat pendek seperti "Maaf, bikin repot Anda", "Bisakah Anda... ?", "Tolong....", "Apakah Anda keberatan un­tuk....", "Terima kasih", dan semua ucapan sopan seperti ini akan mengurangi monotonnya hidup sehari-hari—dan, ter­nyata, itu merupakan tanda bahwa kita berbudaya.
Kita ambit contoh lainnya. Novel-novel Hall Caine se­perti The Christian, The Deemster, The Manxman laris sekali pada permulaan abad ini. Jutaan orang membaca novelnya. Dia anak seorang pandai besi; namun ketika meninggal, dia merupakan sastrawan terkaya pada zamannya.
Kisahnya demikian. Hall Caine mengagumi soneta dan balada. Jadi, dia menghafalkan betul-betul semua syair Dante Gabriel Rossetti. Dia bahkan menulis esai yang memuji pres­tasi artistik Rossetti—dan mengirimkan satu salinan kepada Rossetti sendiri. Rossetti senang sekali. "Anak muda yang me­ngagumi kemampuan saya pasti orang yang brilian," demikian mungkin kata Rossetti kepada dirinya sendiri. Jadi, Rossetti mengundang anak pandai besi ini ke London. Ini sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan Caine, karena dalam posisi baru­ nya, dia bertemu dengan para sastrawan setiap hari. Dia dapat mengambil nasihat mereka, dan menjadi bersemangat oleh anjuran-anjuran mereka. Maka dia membangun karier menulis, yang ternyata melambungkan namanya setinggi langit.
Rumahnya, Greeba Castle (Puri Greeba) di Isle of Man menjadi objek kunjungan turis dari mana-mana, dan warisannya bernilai miliaran dollar. Namun—siapa tahu—mungkin saja dia meninggal dalam kemiskinan dan tidak dikenal orang sean­dainya dia tidak menulis sebuah esai, yang mengutarakan ke­kagumannya atas orang yang terkenal.
Itulah daya, kekuatan yang luar biasa, dari penghargaan tulus yang keluar dari hati.
Rossetti menganggap dirinya penting. Itu tidak aneh. Ham­pir setiap orang merasa dirinya penting, sangat penting.
Kehidupan banyak orang mungkin dapat diubah kalau saja ada seseorang yang membuatnya merasa penting. Ronald J. Rowland, salah seorang instruktur kami di California, adalah juga guru seni dan keterampilan. Dia menulis tentang keadaan seorang siswa bernama Chris, pada awal kursus.
"Chris itu pendiam, pemalu, dan tidak percaya diri. Dia siswa yang kerap tidak memperoleh perhatian yang layak diper­olehnya. Saya juga mengajar kelas unggulan, yang berkembang menjadi semacam simbol status dan keistimewaan bagi pelajar yang mengikutinya.
"Pada hari Rabu, Chris bekerja rajin sekali di meja kerjanya. Saya benar-benar merasakan ada semangat menyala-nyala da­lam dirinya. Saya tanya Chris apakah dia mau masuk ke kelas unggulan. Wajah Chris berbinar-binar, tak kuasa menyem­bunyikan emosi yang berkecamuk dalam diri anak berumur em-pat belas tahun itu. Sambil menahan air matanya, dia berkata:
"'Apakah saya pantas, Mr. Roland?'
"'Ya, Chris. Kau cukup pantas.'
"Saya tidak bisa bicara lebih banyak lagi, karena air mata saya berderai. Sewaktu Chris berjalan ke luar kelas pada hari itu, dia tampak semangat sekali. Dia melihat saya dengan ma­ta bersinar dan berkata dalam nada positif, 'Terima kasih, Mr. Roland.'
"Chris telah mengajarkan suatu pelajaran yang tak pernah akan saya lupakan. Agar saya tidak pernah melupakan aturan ini, saya membuat tanda bertuliskan ANDA ORANG PEN­TING. Tanda itu saya gantung di depan ruang kelas agar semua orang bisa melihat dan mengingatkan saya bahwa setiap siswa yang saya hadapi adalah orang-orang yang sama pentingnya."
Hampir setiap orang yang Anda temui—ini fakta—merasa lebih tinggi dari Anda, dan dalam hati kecil mereka ingin agar Anda mengakui bahwa mereka orang penting, dan meng­akuinya dengan tulus.
Ingat yang dikatakan Emerson, "Setiap orang yang saya temui dalam beberapa hal adalah atasan saya. Dalam hal ter­tentu, saya belajar darinya."
Dan yang menyedihkan adalah sering kali orang yang pa­ling tidak bisa dianggap berprestasi justru lalu mencari-cari hal itu sampai di luar kewajaran, dan melelahkan sekali. Persis seperti yang diungkapkan Shakespeare, "...manusia, manusia yang sombong, /yang kewenangannya kecil dan singkat, /...ber­sandiwara secara fantastik di hadirat surga yang tinggi/seolah mau membuat para malaikat menangis."
Seorang pengusaha peserta kursus saya telah menerapkan prinsip ini, dan hasilnya luar biasa. Peristiwanya menyangkut se­orang jaksa di Connecticut, yang atas permintaan keluarganya, namanya tidak saya sebutkan.
Segera sesudah mengikuti kursus saya, Mr. R bermobil ke Long Island bersama istrinya, mau menengok beberapa sau­daranya. Mr. R berkunjung ke rumah seorang bibinya yang su­dah tua dan istrinya lalu pergi sendiri mengunjungi saudara­saudaranya yang lebih muda. Karena dia sendiri hams segera memberikan ceramah secara profesional tentang bagaimana menerapkan prinsip menghargai orang, dia pikir akan ada man­faatnya berbicara dengan bibinya yang sudah tua itu. Maka dia melihat-lihat isi rumah bibinya untuk melihat apa yang dapat dikaguminya.
"Rumah ini dibangun sekitar tahun 1890, bukan?" tanyanya menyelidik.
"Ya, persis di tahun itulah rumah ini dibangun," jawab bi­binya.
"Saya jadi teringat rumah kelahiran saya," katanya. "Rumah itu indah, ruangannya lebar. Rumah semacam ini sekarang su­dah tidak dibangun orang lagi. Orang sekarang maunya apar­temen yang kecil, kemudian mereka pergi tamasya dengan mobilnya.
"Ini rumah impian," kata bibinya penuh kenangan manis. "Rumah ini dibangun dengan cinta. Aku dan suami memimpi­kannya selama bertahun-tahun sebelum membangunnya. Kami tidak memakai arsitek. Kami merencanakannya sendiri."
Dia menunjukkan rumahnya, dan Mr. R mengagumi ko­leksi-koleksi indah dan berharga sepanjang masa yang dikum­pulkan bibinya dari mana-mana—syal paisley, satu set cangkir teh Inggris yang kuno, porselin Wedgewood, ranjang dan kursi Francis, lukisan-lukisan Italia, tenunan-tenunan sutra yang pemah terpampang di sebuah puri di Francis.
Setelah membawa keliling rumah, bibinya membawanya ke garasi. Di sana terdapat mobil Packard—dalam kondisi se­perti bare.
"Suamiku membeli mobil ini tidak lama sebelum dia me­ninggal," katanya lembut, "saya tak pernah mengendarainya lagi setelah dia meninggal... Kau menghargai hal-hal yang ba­gus, dan aku akan menghadiahkan mobil ini untukmu."
"Kenapa, Bibi," jawabnya, "kau terlalu baik. Tentu saja sa­ya menghargai kedermawanan Bibi; tetapi mungkin saya tidak dapat menerimanya. Saya sendiri bahkan bukan saudara lang­sungmu. Saya sudah mempunyai mobil barn. Dan Bibi mem­punyai banyak saudara yang mungkin ingin memiliki mobil Packard itu."
"Saudara!" serunya, "ya, aku memang mempunyai saudara yang hanya menunggu kapan saat aku mati sehingga mereka bisa memperoleh mobil ini. Tetapi mereka tidak akan bisa memperolehnya."
"Nah, kalau Bibi tidak ingin memberikannya kepada sau­dara, bisa saja mobil ini dijual kepada toko mobil bekas," kata­nya memberitahukan.
"Dijual!" serunya. "Kaukira aku mau menjual mobil ini? Kaupikir aku dapat melihat orang yang tak kukenal mengen­darai mobil itu di jalanan? Mobil yang dibelikan suami untuk­ku? Mimpi menjual pun tidak! Aku memberikannya kepadamu karena kau menghargai hal-hal yang bagus."
Sebenamya dia mencoba menolak pemberian itu, tetapi kalau itu dilakukannya, pasti akan menyakiti hatinya.
Perempuan ini, yang tinggal sendirian di sebuah rumah yang besar dengan koleksi cangkir teh Inggris kuno, barang. barang antik dari Prancis, dan kenangan-kenangan manisnya, sangat haus akan penghargaan kecil. Dia pernah muda, cantik, dan dicari-cari orang. Dia membangun sebuah rumah dengan kehangatan cinta dan mengumpulkan barang-barang dari se-gala penjuru Eropa untuk memperindah rumah tersebut. Kini, dalam kesunyian di usia tuanya, dia mendambakan kehangatan manusiawi yang sederhana, penghargaan kecil yang tulus­dan tak seorang pun memberikan hal itu. Dan sewaktu dia memperolehnya, maka seperti air mancur di gurun, rasa terima kasihnya yang tak terhingga dia wujudkan dalam pemberian mobil Packard, kesayangannya.
Kita ambil contoh lain, dari Donald M. McMahon. Dia pim­pinan Lewis & Valentine, pekebun dan arsitek pertamanan di Rye, New York. Ceritanya demikian:
"Tidak lama setelah saya mengikuti ceramah tentang 'Ba­gaimana Memperoleh Kawan dan Memengaruhi Orang', saya membuat rancangan halaman seorang hakim terkenal. Si Ha­kim itu memberikan beberapa instruksi tentang di mana dia ingin menanam rhododendron dan azalea-nya yang banyak sekali.
"Saya berkata, 'Pak Hakim, Anda punya hobi yang mena­wan. Saya mengagumi anj ing-anj ing Anda. Saya dengar Anda memperoleh hadiah setiap tahun dalam pameran di Madison Square Garden.'
"Efek dari ungkapan penghargaan kecil ini luar biasa. "'Ya,' jawab si hakim, 'saya sering bermain dengan anjing­anjing saya. Anda mau melihat anjing kennel saya?'
"Hampir satu jam dia mempertunjukkan anjing-anjing beserta hadiah-hadiah yang telah diperolehnya. Dia bahkan membawa pedigree-nya dan menerangkan garis keturunan dari anjing yang begitu rupawan dan pintar itu.
"Akhirnya, sambil menoleh pada saya, dia bertanya, 'Anda punya anak kecil?'
"'Ya, laki-laki,' jawab saya.
"'Apakah dia senang anak anjing?' tanya si hakim. "'Ya, dia senang yang berwarna pink.'
"'Baiklah, saya ben satu,' kata hakim.
"Dia mulai memberitahukan bagaimana cara memberi makan anak anjing. Lalu dia berhenti, 'Kalau hanya ngomong, Anda pasti lupa. Akan saya tulis saja.' Maka si hakim masuk ke rumah, mengetikkan cara merawat anak anjing yang harganya ratusan dolar dan terlebih lagi waktunya yang berharga sekali selama satu jam lima puluh menit. Itulah hasil yang saya per­oleh karena secara tutus memuji hobi dan prestasinya."
George Eastman, yang terkenal karena Kodak, menemukan film bening yang memungkinkan gambar film, memperoleh ratusan juta dolar, dan berhasil menjadi usahawan paling ter­kenal di dunia ini. Namun, dia masih mendambakan peng­akuan kecil, seperti Anda dan saya, meskipun dia sudah de­mikian besar prestasinya.
Misalnya: Sewaktu Eastman membangun gedung Eastman School of Music dan Kilboum Hall di Rochester, James Adam­son, yang kemudian menjadi direktur utama Superior Seating Company di New York, ingin memperoleh pesanan mensuplai kursi teater untuk bangunan-bangunan tadi. Dengan menelepon arsiteknya, Adamson meminta waktu untuk menghadap George Eastman di Rochester.
Sewaktu Adamson tiba, si arsitek itu berkata, "Saya tahu Anda ingin memperoleh pesanan ini. Tetapi saya bisa memberi­tahu
memberi komentar tentang proporsi, wama, pahatan tangan, dan upaya-upaya lain yang dia rancang dan laksanakan. Sementara mereka mengitari ruangan, sambil mengagumi pahatan kayu, mereka berhenti di depan jendela, dan George Eastman yang sopan dan suaranya lembut, menunjuk pada beberapa bangunan yang akan dipakainya untuk membantu kemanusiaan: Rochester College, rumah sakit umum, rumah sakit homeopatik, rumah sahabat, rumah sakit anak-anak. Adamson memberi selamat secara hangat karena kekayaannya dipergunakan untuk meringankan penderitaan umat manusia. Lalu George Eastman membuka kotak kaca dan menarik ka­mera pertama yang pemah dimiliki—sebuah penemuan yang dibelinya dari seorang Inggris.
Adamson menanyakan panjang lebar tentang perjuangan awalnya dalam memulai bisnis, dan George Eastman dengan terharu menceritakan tentang kemiskinannya semasa muda. Ibunya yang janda mengurusi asrama dan dia sendiri bekerja di sebuah kantor asuransi. Teror kemiskinan mengancamnya siang malam, dan dia berketetapan hati untuk mencari uang yang cukup sehingga ibunya tidak perlu lagi bekerja. Adamson mengajukan pertanyaan lanjutan dan memperhatikan serta menyerap, selagi Eastman menceritakan pengalaman ekspe­rimennya dalam plat fotografi kering. Dia mengisahkan bagai­mana dia bekerja di kantor seharian penuh, dan kadang-kadang semalam suntuk. Tidur hanya sebentar-sebentar sementara ba­han-bahan kimia bereaksi di pakaian-pakaiannya selama tujuh puluh dua jam.
Akhirnya George Eastman menoleh kepada Adamson dan berkata, "Waktu di Jepang terakhir kalinya, saya membeli be­berapa kursi dan membawanya ke rumah, dan diletakkan di beranda. Tetapi wamanya kini luntur karena terus tersengat sinar matahari. Beberapa hari yang lalu saya ke kota membeli cat, lalu mencatnya sendiri. Anda mau melihat hasil pekerjaan saya? Baik, man ke rumah saya dan makan siang bersama. Nan-ti saya tunjukkan."
Setelah makan siang, Eastman menunjukkan kursi-kursi yang dibelinya dari Jepang. Harganya sebenamya tidak lebih dari beberapa dolar, tetapi George Eastman, yang sekarang mahajutawan, bangga atasnya karena dia sendiri yang mencat­nya.
Pesanan kursi akhimya mencapai lebih dari sembilan pu­luh ribu dolar. Siapa kira-kira yang memperoleh pesanan itu? Adamson atau para pesaingnya?
Sejak peristiwa itu hingga meninggalnya Eastman, kedua orang tadi bersahabat erat.
Claude Marais, seorang pemilik restoran di Rouen, Prancis, mempergunakan prinsip ini dan hasilnya, seorang karyawan kuncinya tidak jadi keluar. Perempuan ini sudah bekerja se-lama lima tahun dan merupakan penghubung yang penting antara Claude Marais dengan dua puluh satu karyawannya. Marais terkejut menerima sebuah surat tercatat yang isinya surat pengunduran dirinya.
Kata Marais, "Saya sangat terkejut dan, lebih-lebih, kecewa karena saya merasa telah berbuat adil padanya dan memper­hatikan kebutuhannya. Karena dia lebih terasa sebagai kawan daripada karyawan, mungkin saya terlalu menggampangkan dirinya lebih dari orang-orang lain, dan bahkan lebih menuntut darinya dibanding dengan yang lain-lain.
"Tentu saja saya tidak dapat menerima pengunduran dirinya tanpa ada penjelasan. Saya katakan padanya, 'Paulette, kau ha­rus memahami, saya tidak dapat menerima pengunduran dirimu. Kau berarti sekali bagiku dan bagi perusahaan ini, dan untuk suksesnya restoran ini maupun untukku sendiri, kau penting sekali.' Saya mengulangi hal ini di depan seluruh staf, dan saya undang dia ke rumah untuk mengulangi kembali kepercayaan saya padanya di depan seluruh anggota keluarganya.
“paulete menarik kembali pengunduran dirinya, da sekarang saya dapat percaya penuh padanya, lebih dari waktu­ waktu sebelumnya. Saya kerap kali menekankan kembali ung­kapan penghargaan saya atas apa yang dia kerjakan dan saya tunjukkan padanya betapa pentingnya dirinya bagi restoran dan bagi saya sendiri."
"Berbicaralah dengan orang mengenai diri mereka sen­diri," kata Disraeli, salah satu orang terpandai yang pernah  memerintah Kerajaan Inggris. "Berbicaralah dengan orang me­ngenai diri mereka, dan mereka akan berjam-jam mendengar­kannya."
*Sumber : Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan (Dale Carnegie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar